Pendidikan Kewarganegaraan Pertemuan Ke-3



Untuk memahami pendidikan kewarganegaraan di Indonesia, pengkajian dapat dilakukan secara historis, sosiologis, dan politis.

Secara Historis

Pendidikan kewarganegaraan dalam arti substansi telah dimulai jauh sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka. PKn pada saat permulaan atau awal kemerdekaan lebih banyak dilakukan pada tataran sosial kultural dan dilakukan oleh para pemimpin negarabangsa. Dalam pidato-pidatonya, para pemimpin mengajak seluruh rakyat untuk mencintai tanah air dan bangsa Indonesia. Seluruh pemimpin bangsa membakar semangat rakyat untuk mengusir penjajah yang hendak kembali menguasai dan menduduki Indonesia yang telah dinyatakan merdeka.

Atau dengan kata lain,bahwaPresiden Soekarno dahulu kala pernah berkata bahwa "Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah." Hal tersebut kemudian memiliki sebuah makna dimana dalam setiap sejarah terdapat berbagai macam fungsi yang dimana penting dan akan sangatlah berguna dalam  rangka untuk membangun sebuah kehidupan  karena dengan sejarah maka kita akan belajar untuk tidak mengulangi hal yang sama dikemudian hari. Dalam konteks tersebut maka sebuah sejarah akan berguna untuk membangun kehidupan pada sebuah bangsa untuk dapat melihat jalan yang dimana lebih bijaksana di masa depan. Kemudian, sebuah sejarah juga menjadi sebuah guru pada kehidupan. Dalam pendidikan kewarganegaraan kemudian diharapkan mahasiswa akan mendapatkan berbagai macam inspirasi yang dimana dapat digunakan untuk berpartisipas dalam sebuah kegiatan untuk melakukan pembangunan bangsa yang dimana sesuai dengan apa yang mereka sukai dengan menghindari berbagai macam perilaku yang bernuansa untuk tidak mengulangi kembali kesalahan sejarah.

 

Secara Sosiologis

Pidato-pidato dan ceramah-ceramah yang dilakukan oleh para pejuang, serta kyai-kyai di pondok pesantren yang mengajak umat berjuang mempertahankan tanah air merupakan PKn dalam dimensi sosial kultural. Inilah sumber PKn dari aspek sosiologis. PKn dalam dimensi sosiologis sangat diperlukan oleh masyarakat dan akhirnya negara-bangsa untuk menjaga, memelihara, dan mempertahankan eksistensi negara-bangsa. Upaya pendidikan kewarganegaraan pasca kemerdekaan tahun 1945 belum dilaksanakan di sekolah-sekolah hingga terbitnya buku Civics pertama di Indonesia yang berjudul Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia (Civics) yang disusun bersama oleh Mr. Soepardo, Mr. M. Hoetaoeroek, Soeroyo Warsid, Soemardjo, Chalid Rasjidi, Soekarno, dan Mr. J.C.T. Simorangkir. Pada cetakan kedua, Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, Prijono (1960), dalam sambutannya menyatakan bahwa setelah keluarnya dekrit Presiden kembali kepada UUD 1945 sudah sewajarnya dilakukan pembaharuan pendidikan nasional. Tim Penulis diberi tugas membuat buku pedoman mengenai kewajiban-kewajiban dan hakhak warga negara Indonesia dan sebab-sebab sejarah serta tujuan Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia. Menurut Prijono, buku Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia identik dengan istilah “Staatsburgerkunde” (Jerman), “Civics” (Inggris), atau “Kewarganegaraan” (Indonesia).

Oleh karena itu, Sosiologi kemudian adalah sebuah ilmu yang dimana mempelajari kehidupan antar manusia. Dalam sebuah ilmu sosisologis maka kemudian didalamnya sendiri terdapat kajian yang dimana tedapat latar belakang, susunan, dan berbagi pola dari sebuah kehidupan sosial yang dimana terdapat dari berbagai macam golongan dan juga kelompok yang dimana ada pada masyarakat, kemudian disamping itu pula terdapat berbagai macam masalah sosial, perubahan, dan juga berbagai pembaharuan yang dimana terdapat di dalam masayrakat. Dari pendekatan sosiologis ini kemudian diharapkan untuk dapt melakukan sebuah kajian terhadap struktur sosial, proses sosial, dan berbagai macam perubahan sosial dan berbagai masalah sosial untuk dapat diselesaikan secara bijaksana dengan menggunakan nilai-nilai Pancasila.

 

Secara Politis

Pendidikan kewarganegaraan mulai dikenal dalam pendidikan sekolah dapat digali dari dokumen kurikulum sejak tahun 1957 sebagaimana dapat diidentifikasi dari pernyataan Somantri (1972) bahwa pada masa Orde Lama mulai dikenal istilah: (1) Kewarganegaraan (1957); (2) Civics (1962); dan (3) Pendidikan Kewargaan Negara (1968). Pada masa awal Orde Lama sekitar tahun 1957, isi mata pelajaran PKn membahas cara pemerolehan dan kehilangan kewarganegaraan, sedangkan dalam Civics (1961) lebih banyak membahas tentang sejarah Kebangkitan Nasional, UUD, pidato-pidato politik kenegaraan yang terutama diarahkan untuk "nation and character building” bangsa Indonesia.


HAKIKAT  DAN PENTINGNYA PENDIDIKAN  KEWARGANEGARA

 Secara etimologis, pendidiksn kewarganegaraan berasal dari kata ‘pendidikan’ dan kata ‘kewarganegaraan’. Pendidikan berarti usaha dasar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, sedangkan kewarganegaraann adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara.

Secara yuridis, pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

Secara terminologis, pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik, diperluas dengan sumber-sumber ilmu pengetahuan lainnya: pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua. Kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

Negara perlu menyelenggarakan pendidikan kewarganegaraan karna setiap generasi adalah orang baru yang harus mendapat pengetahuan, sikap/nilai dan keterampilan agar mampu mengembangkan Warga negara yang memiliki watak atau karakter yangg baik dan cerdas (smart and good citizen) untuk hidupp dalam kehidupan bermasyarkat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan demokrasi konstitusional.

Komentar

Postingan Populer